"It is better to die on your feet than live on your knees".

-- Emiliano Zapata --

RE-PRODUKSI VISI ADVOKAT INDONESIA

T Denny Septiviant[1]

Pada tanggal 30 Maret 2008 mendatang, para Advokat Semarang akan menyelenggarakan Musyawarah Advokat Pembentukan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Cabang Semarang. Musyawarah Advokat ini tidak lepas dari kontroversi, sebab didahului dengan adanya perbedaan pendapat mengenai siapa pihak yang paling berhak untuk pertama kali menjadi pengurus PERADI Cabang Semarang. Diharapkan Musyawarah Advokat ini akan mensudahi kontoversi tersebut.

Tulisan ini bermaksud untuk mengingatkan kembali bagaimana seharusnya visi dan misi advokat tersebut telah diredusir dan harus ditumbuhkan lagi dalam Musyawarah Advokat PERADI kali ini.

RUNTUTAN HISTORIS

Sebagai profesi yang tumbuh dari hasil politik etis kolonial Hindia Belanda, eksistensi Advokat Indonesia dalam sistem hukum Indonesia jelas dipengaruhi oleh ideologi yang memperkecil ruang gerak bagi berkembangnya ruang gerak Advokat Indonesia. Sehingga dapat dipahami, karena ideologi tersebut, perkembangan Advokat Indonesia hanya dilekatkan secara simbolis dan dielitkan posisinya sehingga tidak mengakar secara sosiologis. Hal ini ditunjukkan oleh fakta sejarah bahwa kaum priyayi dan golongan kelas atas dari kaum pribumi saja yang diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan hukum oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sikap konservatif dan taat doktrin menjadi paham yang melekat dan mengikat kreativitas para ahli hukum bangsa ini, termasuk di dalamnya Advokat, untuk melakukan pembaharuan hukum. Sikap ini bagi sebagian Advokat ditunjukkan dengan mementingkan prosedur hukum yang berlaku dan menafikan rasa keadilan yang diyakini oleh masyarakat. Diskursus mengenai hukum dan keadilan kurang berkembang padahal Advokat memiliki tugas besar mengupayakan agar segala produk hukum yang dihasilkan terus diuji dan dihadapkan pada nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat lewat kapasitasnya.

Daniel S Lev mengungkapkan bahwa dari kilasan sejarah advokat Indonesia, ada beberapa hal yang dapat dicatat. Pertama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang sangat penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi, politik hukum, maupun etika profesi para penegak hukum. Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan maupun organisasi masih mampu berperan di dalam gerakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Sejarah mencatat peran Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang dengan berani dan terbuka membela secara pro bono para politikus komunis dan simpatisannya yang diadili dengan tuduhan makar terhadap negara Republik Indonesia, di hadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB). Dalam kurun ini juga Peradin mencanangkan ikrar yang pada intinya menyatakan bahwa (a) PERADIN adalah suatu organisasi perjuangan; (b) pemihakan PERADIN pada penegakan hukum dan keadilan, serta kepentingan rakyat yang lemah (buta hukum); dan (c) kerendahan hati para advokat untuk menerima semua kritik masyarakat atas peran para advokat. Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai individu maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu menolong dirinya sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum dan reformasi hukum (termasuk institusi hukum), penegakan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, yang menjadi agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa advokat memperlihatkan indikasi yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek korupsi di badan peradilan.

VISI YANG LUNTUR

Runtutan historis tersebut menunjukkan adanya kegagalan advokat yang tidak terbantahkan. Bukan saja penegakan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, dan politik hukum, tetapi advokat juga gagal dalam ikut mengubah masyarakat yang pada masa sekarang ini sangat mungkin dilakukan. Pelemahan tersebut umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan individu dan ketidakpedulian para advokat pada masyarakatnya sendiri. Semangat menggalang dan memperkuat organisasinya mulai lemah sehingga tidak mempunyai posisi tawar yang berarti terhadap siapapun, termasuk penguasa, parlemen maupun pihak yudikatif. Yang paling mencemaskan dalam proses pelemahan ini adalah lunturnya pemihakan advokat dalam proses demokratisasi pada rakyat yang tertindas akibat pembodohan politik, hukum, dan ekonomis, juga dalam proses pembentukan kebijakan publik yang mengatur hajat hidup orang banyak termasuk mengatur diri advokat sendiri.

Contoh paling terang benderang keterasingan advokat dari tradisi demokrasi ini tercermin dari sikap sebagian besar advokat yang tidak kritis terhadap Undang-Undang Advokat. Yang sejatinya menggeser peran dan fungsi advokat tidak lebih hanya sekedar sebagai pemberi jasa sektor hukum saja. Pengaturan yang memperlemah advokat ini dimulai ketika Pemerintah menyatakan komitmennya secara formal untuk menata praktek advokat pada 31 Juli 2000, yaitu dalam Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) disebutkan di dalamnya: “other step being taken address governance problems within the court system include the preparation of an Advocate’s Law, to be submitted to parliament in September, that will require all court advocates to be licensed. A condition for such licences will be adherence to a uniform code of ethics.” (paragraph 49). Oleh kalangan organisasi advokat sendiri, tidak ada usaha yang cukup untuk mengadvokasi undang-undang ini. Sehingga setelah diundangkan ada banyak kelemahan, yang paling fatal adalah dihilangkannya sifat kebebasan dan kemandirian profesi advokat, dengan diformalkannya advokat sebagai penegak hukum (vide: pasal 5 ayat (1) UU No 13 tahun 2003). Status ‘penegak hukum’ hanya tepat diberikan pada polisi dan jaksa yang memang merupakan wakil pemerintah dalam sistem peradilan. Keduanya menjalankan tugas pemerintah menegakkan hukum yang berlaku, dan untuk itu diberi kewenangan melakukan upaya paksa. Karenanya ketika menjalankan tugas, baik polisi maupun jaksa sepenuhnya terikat pada ketentuan hukum yang bersifat legal formal, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Adapun advokat, walau sama terikatnya pada ketentuan hukum, mereka harus diberi ruang untuk mengembangkan diskursus tentang hukum bahkan mengkritisi hukum yang berlaku. Tentu saja keduanya harus dilakukan atas nama masyarakat yang diwakili kepentingannya. Dalam praktek, advokat diijinkan menggunakan leempte (kekosongan hukum) untuk membela klien mereka, sedang penegak hukum wakil pemerintah tidak diijinkan untuk itu.

Pelemahan profesi advokat juga disebabkan adanya suasana institusi peradilan yang morat-marit, yang menciptakan proses deprofesionalisasi dengan beralihnya konsentrasi aktivitas advokat dari institusi yudisial bergerak ke bidang lain. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian yang banyak memberikan alternatif tersebut bagi advokat, tetapi relatif menjauhkan orientasi profesi dari isu-isu kepentingan publik.

Intervensi kekuasaan dengan berbagai kepentingannya yang terus memecah-belah juga memberi kontribusi tersendiri bagi lemahnya peran advokat secara eksternal maupun internal, serta menghalangi pembentukan komunitas profesi yang didasarkan pada kesamaan visi.

Secara riil, di akhir perkembangannya, peran eksternal advokat lebih banyak digantikan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum serta organisasi-organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang hukum. Lembaga-lembaga tersebut lebih mengakar karena pilihannya yang terus berpihak pada kepentingan publik dan mampu mengkomunikasikan konsep, materi, serta prosedur hukum secara efektif kepada masyarakat lewat penciptaan diskursus di bidang hukum yang selalu melibatkan kepentingan masyarakat.

CATATAN AKHIR

Kapitalisme neoliberal telah mengubah secara aneh cara pandang advokat terhadap profesi. Profesi yang sejatinya adalah mandat publik, dan penghargaan tertinggi terhadap profesional tersebut adalah mandat publik telah disempitkan dan direndahkan sendiri oleh advokat -pelaku profesi tersebut- menjadi penghargaan yang dinilai dengan mata uang. Advokat profesional adalah advokat yang jasanya dinilai dengan sejumlah uang, semakin profesional, semakin tinggi pula tarif-nya. Oleh Satjipto Rahardjo, cara pandang aneh ini disebut dengan fenomena Mega-Lawyering, yang tidak lain adalah masuknya kapitalisme dalam praktek lawyering. Praktek hukum tidak dapat lagi dibatasi pekerjaannya sebagai murni pekerjaan hukum, melainkan semakin didesak untuk membuka pintu bagi pelayanan terhadap ekonomi kapitalis. Dengan demikian, hukum dan bisnis sudah bercampur menjadi satu model lawyering yang baru.

Agaknya penyamaan visi dasar mengenai legitimasi profesi pada kepercayaan publik merupakan tantangan terbesar bagi advokat Indonesia untuk lepas dari kungkungan sejarah, yang ternyata selama ini berpengaruh negatif terhadap perkembangan advokat indonesia selanjutnya. Dan visi ini yang harus mulai dibangun oleh organisasi Advokat seperti PERADI.



[1] Advokat di Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) wilayah Jawa Tengah. Sekretaris DPD Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Jawa Tengah.